Thursday, December 17, 2015

“Kegagalan Makanan dijadikan Terapi” by @erikarlebang

“Kegagalan Makanan dijadikan Terapi” by @erikarlebang
Kultwit 11 Januari 2015

Okeh, udah lama gak kultwit yak. Mari saya bahas dari sisi makanan dijadikan terapi. Kebetulan ada yang nanya.

Saya pernah bahas, kenapa kecenderungan makan dijadikan terapi itu seringnya gagal. Bisa singkong, akar benalu untuk kanker, atau lainnya.

Kenapa? Karena disaat makanan itu diforsir untuk dikonsumsi layaknya orang minum obat. Pada saat bersamaan pola makan harian tetap sama saja.

Padahal pola makan adalah biang keladi seseorang memiliki penyakit tertentu, paling tidak daya tahan tubuh yang buruk sampai bisa sakit.

Sementara di satu sisi orang mengkonsumsi rebusan, seduhan makanan yang dianggap bisa menyembuhkan, di sisi lain dia tetap makan ngawur.

Saya pernah punya kerabat makan ‘ayam bertuah’, sehari 1 ayam. Untuk memerangi penyakit kanker. Alasannya? Lebih ke sisi tahayul, mitos.

Sementara beliau makan hingga mual-mual, karena (bayangin aja) kondisi tubuh gak sehat disuruh makan ayam banyak *sedih dan kasihan*.

Tapi makanan harian yang masuk, tetap saja makanan rendah guna untuk tubuh. Karena prinsipnya “udah sakit, yang penting mau makan”.

Akhirnya, jangankan sembuh. Yang ada malah sel kankernya semakin ganas. Menyedihkan. Ada lagi kasus lain, teman saya kalau ini, dia sembelit.

Dia mendengar dengan pepaya, sembelitnya bisa disembuhkan. Walhasil mulailah dia ‘gila pepaya’. Tiap saat dimakan, pagi, siang dan malam.

Sukses? Antara ya dan tidak. Adalah perbaikan sedikit dari sisi BAB pagi hari. Tapi dia merasa “keluarnya ‘gak semua’, kayak masih kesisa”.

Tapi yang konyol adalah, dia ketakutan satu hari. Karena mendadak kulitnya berubah warna seperti contoh di foto ini.

image

Kondisi itu biasa disebut dengan istilah karotenemia, kebanyakan unsur karoten, pemberi warna jingga dan merah pada buah, sayur tertentu.

Ya gak aneh, lah temen ini bisa mengkonsumsi 1-2 bahkan katanya pernah 3 pepaya dalam satu hari! Sebenarnya sih gak bahaya dalam skala awal.

Tapi kalau keterusan, lama-lama livernya bisa sebel juga direcoki dan harus repot mengurus kelebihan jumlah unsur satu ini terus menerus.

Satu hal yang lupa dikoreksi teman saya, adalah pola makan dan minum hariannya yang amburadul luar biasa. Orientasi pilihannya parah nian.

Dia penggila makanan sampah, tinggi protein hewani, malas makan sayur. Buah? Ya cuma pepaya itu saja. Itu juga karena iming-iming ‘bisa pup’.

Air putih? Minum, cuma kalau kepepet. Lebih suka minum teh. Kalau pagi gak minum kopi, hidupnya bisa berantakan. “Badan menggigil” katanya.

Ya jangan heran kalau dia sembelit. Lah, makanan yang dia makan itu semua jadi sampah di tubuh. Pasca ditelan, semua mengecil, menggumpal.

Karena miskin serat! Akhirnya usus kerepotan mendorong makanan itu melewati lorong sistem cerna, agar bisa diproses. Berakhir di kolon.

Di kolon, usus besar, sisa makanan itu juga belum berakhir memberikan waktu siksa bagi sistem cerna. Karena bentuknya buruk, dia menetap.

Mengumpul, sulit didorong keluar oleh tubuh dalam bentuk kotoran. Akhirnya dia mengeras, mengerak dan mengotori dinding usus besar.

Uap dari kotoran yang membusuk di usus besar itu, kembali ke dalam tubuh, mengotori serta meracuni. Makanya temen ini punya keluhan klasik.

Gampang pusing, kulit kusam dan terlihat tua, napas berbau dan lain sebagainya. Jadi sembelit itu cuma masalah puncak gunung es.

Pepaya memang berair dan kaya serat, tapi kalau disuruh menjadi agen pembersih tumpukan sampah tubuh teman saya ini, ya gak berdaya.

Bayangin aja sepasukan satpam yang dilatih untuk mengamankan hotel, lalu dipilih dan diterjunkan ke medan perang versus teroris terlatih.

Ya gak bisa ngapa-ngapain para satpam itu, mampus dengan sukses yang ada. Sama analoginya ke pepaya yang disuruh melancarkan BAB teman ini.

Di sisi lain, pepaya yang masuk terus menerus, membuat tubuh punya masalah baru. Unsur yang menumpuk. Ditambah teman saya dehidrasi parah.

Minum kopi dan teh, bukannya menghidrasi malah mengeringkan cairan tubuh. Makin repot tubuhnya membuang unsur menumpuk dari pepaya tadi.

Walhasil teman saya yang aslinya berkulit seksi, eksotis gelap seperti saya #hueek , berubah wujud jadi mahluk ras oranye. Dari Mars kali ya?

Kerabat dan teman saya ini tidak sadar, bahwa apa yang dia lakukan sehari-hari sebenarnya adalah perwujudan kondisi tubuhnya saat sakit.

Perbaikan hanya bisa terjadi, saat apa yang dia lakukan sehari-hari diubah, diganti! Bukan berharap pada tongkat ajaib dalam bentuk obat.

“Tapi gue gak minum obat, terlalu kimiawi.. Mau obat herbal aja, atau makan yang alami”. Itu sih sama aja. Cuma wujud obatnya yang berbeda.

Ubah pola makan harian. Pilih unsur makanan-minuman dengan yang sesuai kebutuhan tubuh. Bukan didikte maunya selera atau keperluan ‘obat’.

Banyak yang mengira pola makan seperti #Foodcombining atau #RawFood sebagai manifestasi makanan obat tadi, karena banyak testimoni sembuh.

Mereka alpa, yang melaporkan sembuh adalah orang yang punya dedikasi dan keuletan serta konsistensi dalam menjalani. Bukan sehari-dua makan.

Itu pun banyak kasus, yang sudah sembuh, begitu kembali ke pola makan mereka yang lama, ya jatuh sakit lagi. Pola makan sehat harus komit.

Untungnya pola makan sehat sejati seperti #Foodcombining dan #RawFood semisal, itu tidak menyiksa dan rumit kayak diet kalori yang dikenal.

Makan bisa enak dan tetap kenyang. Ritualnya aja beda dikit. Tapi kesehatan yang diberi, gak bisa dibayar dengan apapun!

Demikian kibulan ini, suka sukur, gak suka unfollow. Sembelit makan pepaya? Jejelin aja di pintu belakang, biar gede, kali jadi lancar?

No comments:

Post a Comment